Introvert, salah siapa?

oleh - Februari 09, 2018


Terkadang gue merasa kalau menjadi introvert adalah kesalahan dari lingkungan gue, salah satunya pola suh orangtua. Waktu kecil dulu, gue banyak mengalami hal yang pahit. Seperti gak dianggap sama lingkungan, 'dikasarin' sama orangtua. Selain itu, sejak kecil, gue jarang banget cerita ke orang-orang mengenai masalah gue. Mulai dari masalah  yang kecil, hingga yang besar sekalipun. Entah karena gue gak mau ngerepotin orang atau gimana,
Semakin gede, sikap introvert gue kadang menjadi-jadi. Saat disuruh presentasi di depan kelas, gue sering malu. Bahkan saat ditanya guru, gue kadang gak mau jawab padahal gue tahu jawabannya. Teman gue cuma segelintir doang yang akrab. Paling banyak 6 orang, selama satu jenjang pendidikan. 
Akhirnya, tanpa gue sadari, waktu OSPEK telah tiba. Dan boom. Waktunya masuk ke dunia perkuliahan. Saat pertama masuk ke kelas itu pertama kali, gue langsung mengambil tempat duduk favorit gue, yakni deket bangku dosen. Ya, gue memang kurang waras saat itu, karena tempat itu merupakan 'kursi panas'. Tapi gue melakukan hal itu karena.. gue belum punya teman. 
Kehidupan sekolah kemudian kembali terulang. Gue masih pemalu, teman gue juga sedikit. Sering malu saat disuruh tampil dan berpendapat. 
Sekarang, gue masih bertanya-tanya."Apa menjadi introvert itu salah lingkungan gue?". Yang gue tahu sebelumnya adalah lingkungan memang memungkinkan buat memengaruhi kepribadian seseorang hingga pola pikirnya. Lalu, bagaimana kalau gue beneran terlahir sebagi seorang yang emang ditakdirin untuk menjadi introvert?. Bukannya Tuhan selalu punya rencana?

Dikutip dari Development Psychology at Vanderbilt,  dalam salah satu ekspresimen Ainswotrh's Stange Situation, L. Alan Srouf menemukan bahwa membangun hubungan anak dapan menentukan perkembangan mental anak nantinya. Dia juga mengemukakan bahwa semua variasi kualitas hubungan bukanlah cerminan sifat dasar genetis anak tetapi sejarah interaksi dengan orang tua. Hal ini membuktikan bahwa gaya keterikatan tidak lahir tapi didorong oleh bagaimana orang tua berinteraksi dengan bayi mereka sejak lahir. Studi Longitudinal Attachment juga menunjukkan bahwa anak dengan gangguan kecemasan cenderung mengalami gangguan emosional dan memiliki harga diri yang rendah (Sroufe 190). Jika bentuk keterikatan memiliki dampak jangka panjang terhadap anak-anak, jelas bahwa orang tua harus memperlakukan anak-anak mereka dengan cara yang mendorong ikatan yang aman agar anak bisa tumbuh jadi remaja dan orang dewasa yang emosional.
Faktor penting dalam perkembangan emosional anak adalah kehangatan pola asuh. Ibu yang tertekan punya pikiran, sikap, dan perilaku yang kurang bisa beradaptasi, dan dengan berada di lingkungan yang sama stresnya seperti ibunya, membuat anak berisiko mengembangkan masalah emosionalnya sendiri (Sroufe 204). Kenyataannya, ibu yang depresi cenderung bersikap acuh tak acuh terhadap anak-anak mereka, menempatkan mereka dalam situasi sosial yang kurang, dan umumnya memberi sedikit stimulasi untuk anak-anak mereka, membuat anak-anak tersebut berada dalam posisi yang kurang memungkinkan untuk mencapai perkembangan emosional normal.

Aspek kunci perkembangan emosional pada anak-anak adalah belajar cara mengatur emosi. Anak-anak melihat bagaimana orang tua mereka menampilkan emosi dan berinteraksi dengan orang lain, dan mereka meniru apa yang mereka lihat orang tua mereka lakukan untuk mengatur emosi (Sheffield Morris dkk.).

Ternyata, emang benar kalau emosi dan perilaku orangtua juga berpengaruh pada anak, bukan cuma sifat genetisnya aja. Untuk itu perlu pola asuh yang baik biar anak dapat berkembang dengan sempurna. 

Secara garis besar, menurut Verywell Family, pola asuh orangtua ada 4 jenis, yaitu:

Authoritarian (Otoriter)
Pola asuh ini sering disebut juga dengan diktator. Dalam pola asuh ini, biasanya orangtua yang mengatur segala hal tentang anaknya. Kalau anak gak disiplin, dapat sanksi berupa hukuman. Pola asuh ini akan berdampak pada perilaku anak yang pandai bohong, gak percaya diri, dan agresif.

Authoritave (Otoritativ)
Pola asuh ini membangun hubungan positif anak dan orangtua. Orangtua memberi saran ke anak, tapi anak juga bisa mengemukakan pendapat dan perasaannya dengan bebas. Dampak dari pola asuh ini, anak bakal jadi orang yang percaya diri dan punya mental yang baik.

Pesimistik
Pola asuh dimana orangtua gak menerapkan aturan kepada anaknya. Anak dibiarkan bebas. Dampak dari pola asuh ini anak kepercayaan diri yang rendah dan punya masalah dalam berperilaku. 

Tidak terlibat
Pola asuh dimana orangtua sama sekali gak terlibat dalam perkembangan anak. Anak kurang dipedulikan dan diperhatikan. Dampak pola asuh ini juga bakal berdampak pada kepercayaan diri anak yang rendah. 

Sebagai (calon) orangtua, sekarang kita semua tahu pola asuh yang ideal untuk perkembangan anak. 

Tapi apa benar ini semua salah pola asuh orangtua?

Jelas bukan. Sejak awal, manusia memang terlahir dengan kepribadian yang beda-beda, pola asuh orangtua cuma salah satu hal yang bisa memengaruhinya aja. Kepribadian orang ada yang introvert, ada yang ekstrovert. Kalau diperluas lagi, manusia memiliki 16 kepribadian yang berbeda loh. Buat kalian yang mau tahu, bisa klik disini.

Kesimpulan

Kepribadian anak memang dipengaruhi sama pola asuh dan emosi orangtua. Tapi ini bukan salah siapa-siapa, kok. Buat kalian yang introvert kayak gue, yuk syukuri diri kita yang introvert. Introvert bukan tembok penghalang buat kita semua yang mau maju, kok!.

Sumber:
  • https://my.vanderbilt.edu/developmentalpsychologyblog/2014/05/parental-influence-on-the-emotional-development-of-children/ (dengan bantuan Google Translate)
  • https://www.psychologytoday.com/blog/science-choice/201511/what-is-attachment-anxiety
  • http://www.naturalpersonalityinstitute.com/16-mbti-types/

Baca Juga

0 komentar

Apa yang ada dipikiranmu?. Yuk, sharing bareng!. Komentar yang dikirim akan dimoderasi terlebih dahulu oleh tuan rumah. Silahkan sertakan link blogmu (jika punya). Terima kasih telah berkunjung! ♥